"Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".
(Al Maidah: 8)
Setelah jatuhnya negeri Saamarkand
kepangkuan Islam melalui Panglima
Qutaibah bin Muslim, para rahib Saamarkand yang tak
senang, melalui seorang utusan, mengadu kepada Amirul
Mu'minin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Alasannya, Panglima perang
tanpa memberikan pilihan dan da'wah telah menyerang dan
menaklukkan mereka. Utusan diterima khalifah, dan ditulislah surat kepada Gubernur
Saamarkand agar mengadakan pengadilan
untuk menyelesaikan masalah itu.
Para rahib
Saamarkand manakala mengetahui isi surat
khalifah langsung
pucat pasi, fajar harapan pupus. Mereka
mengira Raja yang
adil itu telah memutuskan segalanya dan membela
mereka. Ternyata yang ada hanyalah
sebuah pengadilan. Adakah arti
sebuah pengadilan, sebagai institusi keadilan, kalau rodanya
dijalankan fihak kuat dan fihak terdakwa menjadi hakim. Masih adakah
keadilan, adakah harapan menang ?
Akhirnya hari pengadilan pun datang. Semua fihak telah siap. Duduk
bersila, di tengah, qadli Jami bin Hadlir al Baji, yang dipilih
oleh gubernur. Kecut hati para rahib memandang qadli kurus, bermuka
pucat dan bersorban lusuh, tak ada harapan menang melihat qadli
yang nampaknya lemah juga pilihan gubernur, pilihan terdakwa. Gubernur dan ketua rahib dipanggil namanya
tanpa embel-embel oleh
pembantu qadli untuk menghadap.
"Apa yang anda adukan ?", tanya
qadli pada ketua rahib, dengan suara tegas. "Sesungguhnya Panglima Qutaibah telah
mencaplok negeri kami, dia
merebutnya tanpa memberikan pilihan atau da'wah terlebih dahulu pada
kami". Qadli menoleh pada gubernur seraya bertanya, "Bagaimana
tanggapan anda ? Apakah terlebih dahulu
anda tawarkan 3 pilihan;
masuk islam, bayar jizyah, atau perang ?". "Tidak",
jawab gubernur. "Kalau begitu anda telah mengaku", kata qadli.
"Sesungguhnya Allah hanyalah memberikan kemenangan kepada ummat ini
jika mereka mengikuti Allah dan RasulNya dan menjauhi penghianatan
terhadap siapapun. Demi Allah kita
keluar dari rumah
masing-masing hanyalah untuk satu tujuan: jihad fisabilillah. Kita tidak keluar untuk menguasai dunia
dengan cara yang
bathil. Maka aku putuskan: kaum Muslimin
harus meninggalkan
negeri ini, setelah itu baru kaum Muslimin mengajak mereka
kepada islam, kalau menolak mereka harus membayar jizyah dan
keamanan mereka dijamin, kalau masih tetap menolak maka
maklumatkanlah perang".
Para rahib
Saamarkand setengah percaya, seperti mimpi mendengar keputusan
qadli kurus yang berwibawa. Mereka
melongo, terkesima
manakala bunyi terompet pasukan kaum Muslimin segera akan
meninggalkan negeri mereka. Mereka
membayangkan dunia mereka yang
sempit, papa, penuh kelicikan, dan kecurangan, sedang dunia
islam luas, subur, semarak, indah dengan keadilan, kemuliaan dan
ketaatan pada hukum Allah. Apa yang bisa
dibanggakan dari
dunia mereka yang gelap dan mencekam ? Keraguan menusuk sangat
dada para rahib Saamarkand.
"Bagaimana pendapat kalian kalau
pasukan kaum Muslimin kembali lagi
?", tanya ketua rahib pada penduduk.
Tanpa menunggu pertanyaan
diulang serentak mereka menjawab, "Kami akan masuk islam yang
agung dan penuh keadilan". Mereka
mencegah kepergian pasukan kaum
Muslimin dan berharap kaum Muslimin membantu merekan untuk
membangun negeri Saamarkand dan meneranginya dengan cahaya
Islam. Sungguh keadilan Islam telah
menyinari hati mereka.
Inilah dien, yang lurus, ditegakkan dengan
nilai "langit" yang luhur, dan
tegak untuk nilai itu. Kemenangan,
kekuasaan bukanlah tujuan.
Sabilillah adalah jalan untuk menegakkan nilai bukan untuk menegakkan
pengaruh dan kekuasaan. Maka melanggar
keadilan, melanggar
aturan Allah dan RasulNya untuk menegakkan islam samalah artinya
dengan membangun masjid dari uang judi; tak dipandang manusia apalagi
oleh Allah Yang Maha Mengetahui setiap amaliah manusia.
Keadilan.
Inilah ciri akhlaq islami yang menerangi hati dan meyelamatkannya
dari kesempitan dan ketakutan. Yang mesti diberlakukan meski
kepada kaum yang kita benci. Berlaku
adil bukanlah karena ia
ditujukan untuk orang yang kita suka, untuk sesama Muslim, tetapi
karena ia sebuah nilai hidup yang mesti di kejawantahkan baik
terhadap kawan atau lawan. Suatu nilai islami yang Allah turunkan
sebagai pedoman hidup kaum Muslimin.
Justru cahaya adil
memancar terang manakala orang yang kita benci sekalipun menerima
keadilan dari kita. Inilah Islam, dien
Allah yang mengagumkan.
Hasbunallah wa
ni'mal wakiil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar