Oleh:
Muhammad Zuhri
Bismillahirrahmanirrahim
Sejak manusia lahir hingga
meninggalkan kehidupan ini, ia berada dalam suatu proses menuju pada
kesempurnaan diri. Menuju pada pemberian makna kehadiran diri dalam ruang
lingkup kehidupan. Hidup bukanlah untuk mencari suatu sarana. Seandainya tak
ada sesuatu yang dicari yang lebih tinggi dari sarana, yaitu makna keberadaan.
Makna keberadaan manusia bukanlah kodrat yang ditetapkan Allah dalam diri,
seperti ketinggian IQ, EQ, bakat yang diperoleh dari ayah ibu, etnis atau
rasnya, apakah ia lahir dalam suatu struktur sosial budaya yang tinggi atau
rendah. Makna keberadaan manusia bukanlah itu semua, melainkan ketinggian makna
kehadirannya. Yaitu apa yg diungkapkan oleh setiap individu dalam ruang lingkup
yang terjamah olehnya dalam proses menghayati hidup. Tak peduli apakah ia ada
di dalam struktur budaya yang maju atau sederhana. Adalah bukan menjadi urusan
kita apakah kita hidup dalam suatu lingkup budaya yang maju atau berkembang.
Kita tak berurusan dengan itu, dan Tuhan tidak mengurusi hal itu. Melainkan
kita diperankan di mana saja. Kadang2 kita ditempatkan dalam tempat yang sudah
maju, sedang berkembang, atau bahkan primitif dalam pencapaian makna kehadiran.
Yang penting bagi kita adalah ketika kita hadir dalam suatu ruang lingkup,
sanggupkah kita memerankan diri kita? Apakah yang kita berikan pada ruang
lingkup kita sudah sesuai dengan perintah2 Tuhan. Apakah perintah Tuhan itu?
Perintah Tuhan adalah situasi dan kondisi yang melanda kita setiap hari.
Situasi dan kondisi dimana kita berada, yang tak diinginkan oleh setiap
individu dalam rangka mengembangkan diri, itu adalah perintah Tuhan. Ketika
kita melihat sesuatu yang bobrok harus kita perbaiki, yang tak qualified harus
kita urusi, yang tersesat harus kita beri petunjuk, yang rusak harus kita
perbaiki. Merespon perintah Tuhan melewati situasi dan kondisi dimana kita
berada adalah melaksanakan amer
(perintah) Tuhan, yaitu beraktual. Bertindak keluar, yaitu mengisi acara hidup
kita, proses kehidupan kita. Sekaligus ketika itu menciptakan sejarah pribadi
kita.
Maka
kita membutuhkan sarana hidup bukan agar kita kenyang, atau supaya bisa tidur
enak. Tapi karena kita memiliki beban, memiliki tanggungan, merasa diperintah
Tuhan memperbaiki diri dan lingkungan agar dalam hidup kita mendapat
kemerdekaan dalam mencapai apa yang kita tuju. Di sini kelihatan gaya hidup
seorang beriman, yaitu ia mencari sarana bukanlah sekedar untuk memenuhi
kebutuhan fisikalnya, melainkan agar ia dapat melaksanakan perintah Tuhan.
Sedangkan perintah Tuhan yang betul2 kondisional dan situasional tak
diceritakan dalam Kitab2 Suci. Tapi Kitab Suci memberitahukan kita bahwa Allah
menampilkan dan menjelaskan ayat2nya di dalam Al-Afaq (di dalam ruang semesta alam), dan di dalam diri kita,
untuk kita respon dan kita tanggapi dengan positif kemauan Tuhan tersebut.
Dengan demikian kehidupan seorang mukmin bukanlah kehidupan yang berhubungan
dengan duniawi. Duniawi hanyalah sarana. Kita sedang berhadapan dengan Allah
dalam melaksanakan perintah2Nya sesuai dengan peran kita mewakili-Nya di muka
bumi.
Dalam proses hidup ini, tidak ada manusia yang baru mulai melangkahkan kaki menempuh proses, melainkan setiap manusia sudah berada dalam tengah2 perjalanan. Sebagian manusia ketika berada di tengah perjalanan, ia sadar bahwa ia didatangkan oleh Tuhan untuk memperbaiki lingkungannya dan dirinya sekaligus. Sebagian manusia lain, hidupnya hanya dimotivasi oleh keinginan2 utk memperbanyak hal2 yang diduga membahagiaan dan menyenangkan, tapi hasilnya hanya membebani diri untuk memelihara dan merawatnya. Kata2 proses hanya ada dalam makhluk hidup. Proses bukanlah berpindahnya sebuah benda mati dari satu titik keruangan ke titik keruangan yang lain. Proses itu adalah bagi makhluk yang hidup, jadi proses mengandaikan tujuan. Di dalam proses menyimpan arti bahwa ada sesuatu yang dituju, karena ia makhluk hidup. Apakah yang dituju ketika manusia berproses dari lahir menuju kematian? Kalau tak ada yg dituju alangkah nistanya karena kehidupan itu hanyalah sebuah cahaya yang sebentar saja bagaikan kilat di angkasa yang gelap gulita. Terang sebentar kemudian gelap lagi. Saat ini kita berada di tengah2 kilat yang sebentar itu yang kemudian besok gelap lagi ketika kita sudah meninggal, dan yang dulu juga gelap ketika kita belum lahir di dunia. Kehadiran manusia ini cuma sebentar bagaikan kilat di tengah malam gelap gulita yang dibatasi oleh dua samudra kegelapan sebelum lahir dan setelah mati. Ini sangat penting, karena itulah harga diri kita bila kita bisa mendayagunakan diri kita sebaik mungkin. Meresponnya dengan sebaik mungkin. Jadi kehidupan itu adalah cahaya terang yang hanya sekilas di antara dua samudra kegelapan sebelum kita lahir dan setelah kita mati.
Bagaimanakah
dalam waktu berperan yang sebentar ini kita bisa menerangi kegelapan yang
sebelum dan sesudah itu? Ini adalah masalah agama. Inilah bedanya falsafah
dengan agama. Falsafah hanya bisa menerangkan hal antara lahir dan mati. Yang bisa
ditangkap hanya berupa kenyataan. Setelah manusia mati, ia tak bisa menangkap
apa2. Sebelum lahir ia hanya hipotesa2, setelah mati ia hanya prasangka2.
Tetapi agama ingin memberi makna kehadiran yang hanya sekilas itu untuk
menerangi samudra kegelapan sebelum hidup, yaitu ketika kita lahir sampai
ketika Allah menciptakan alam, dan menerangi samudra kegelapan setelah hidup,
yaitu ketika kita mati sampai saat kita dibangkitkan. Bagaimana dua samudra
kegelapan itu menjadi terang oleh kehadiran yang hanya sekilas ketika kita
hidup, itulah misi agama. Adapun kita meminjam kata falsafah, yaitu falsafah
proses untuk judul topik ini, itu hanyalah sekedar sebagai bahasa. Falsafah
bukan tujuan, falsafah hanya sebagai bahasa untuk membahasakan kebenaran. Jadi
kalau kita lihat tema pembicaraan ini adalah "Falsafah Proses" bukan
berarti falsafah proses pada umumnya, tapi falsafah proses menurut pandangan
hidup kaum Muslimin. Jelasnya ada sesuatu yang tidak kita tahu, yaitu sebelum
dan setelah kehidupan. Semua ilmu telah berlomba2 untuk mengungkapkan hal2 yang
sudah lalu namun belum ada satu pun yang
akurat. Seperti misalnya pendapat bahwa manusia itu asalnya dari
simpanse, dari binatang bersel satu, dan sebagainya, yang kesemuanya hanyalah
dugaan semata. Dan demikian juga pendapat bahwa setelah kematian manusia,
segalanya sudah selesai, sudah tidak ada lagi kehidupan. Para penyimpul
tersebut semua berada dalam kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar