Satu Hadis Nabi Muhammad SAW.
yang masyhur ialah; "Siapa yang mengenal
dirinya, mengenal ia akan TuhanNya" Ini berarti
dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu
bisa sampai mengenal Allah. Tetapi oleh karena banyak juga orang yang
memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka
tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.
Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai
pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya sangat sulit dan sukar
difaham oleh orang-orang biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita
terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah seperti berikut: apabila
seseorang memikirkan dirinya, dia tahu bahwa ada satu ketika ia tidak
berwujud, seperti tersebut dalam Al-Quran: "Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut (QS. 76:1) Selanjutnya ia juga
tahu bahwa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal, pendengar,
penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya, dari sini
teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan,
tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meskipun hanya sehelai rambut.
Tambahan pula jika ia setitik
air, alangkah lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat di
bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan, kebijaksanaan dan
cinta Allah terbayang dalam bentuk yang kecil. Jika semua pendeta dalam
dunia ini berkumpul dan mereka tidak mati, niscaya mereka tidak dapat mengubah
dan membaiki bentuk walau satu bagian dari badannya itu.
Misalnya, dalam penggunaan gigi
depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan, penggunaan
lidah, air liur, tengkuk, kerongkong, kita dapatinya penciptaan
itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan
jari kita. Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat daripada
jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu jari hanya ada dua
persendian, dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang,
mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas sekali manusia tidak akan
dapat berbuat demikian, meski hendak menambah atau mengurangkan jumlah
jari itu dan susunannya .
Lihat pula makanan, tempat tinggal
kita dan sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh Allah yang maha
kaya. Tahulah kita bahwa rahmat atau Kasih Sayang Allah itu sama dengan
Kekuasaan dan KebijaksanaanNya, seperti firman Allah Subhanahuwa Taala.
"RahmatKu itu lebih
besar dari kemurkaanKu"
Dan sabda Nabi SAW., "Allah
itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
Demikianlah, dari makhluk yang
dijadikanNya, manusia bisa tahu tentang wujud Allah; dari keajaiban
badannya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya
Allah; dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu,
nampaklah Cinta Allah kepada hambaNya. Dengan cara ini, mengenal diri
sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu
untuk mengenal Allah Subhanahuwa Taala.
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan
Sifat-sifat Allah. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu memberi kita
sedikit pandangan tentang wujud Allah, yaitu Allah dan ruh itu tidak
kelihatan, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak tunduk
kepada ruang dan waktu, diluar kemampuan kuantitas (jumlah) dan
kualitas, dan tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau
ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk satu konsep berkenaan
hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan
kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan betapa susah dan
payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti
marah, suka, cinta dan sebagainya. Semua itu adalah konsep
fikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh
indera. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera(tanggapan
pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat mengenal
warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah
mengenal Ruh dan Allah itu bukanlah dengan inderanya.
Allah itu adalah Pemerintah alam
semesta raya ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu, kuantiti
dan kualiti, dan menguasai segala makhluknya. Begitu juga ruh itu
memerintah badan dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak bisa
dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tunduk kepada tempat
tertentu. karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa
dibagi-bagikan itu diletakkan ke dalam sesuatu yang bisa dibagi atau
dipecah? Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatlah
kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.: "Allah
jadikan manusia menurut rupanya".
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat
Allah hasil dari perhatian dan tafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka
sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Allah Ta’ala
dan bagaimana ia mewakilkan Kuasa-Kuasanya kepada malaikat-malaikat, dan lain-lain,
dengan cara memerhati dan bertafakur tentang
bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh: Katakanlah
seorang manusia hendak menulis nama Allah. Mula-mulanya kehendak atau keinginan
itu terkandung dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka
bentuk perkataan "Allah" itu terdapat dalam khayalan atau
fikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat
saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena. Maka
tertulislah nama "Allah" di atas kertas, serupa seperti yang
ada di dalam otak penulis itu.
Begitu juga apabila Allah Subahanahuwa
Taala hendak menjadikan sesuatu perkara, Ia mula-mulanya nampak dalam peringkat
keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai "Al-'Arasy". Dari situ
ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar
"Al-Kursi". Kemudian bentuknya nampak dalam "Al-Luh
Al-Mahfuz". Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga
"Malaikat" terbentuklah perkara itu dan kelihatanlah di atas bumi ini
dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang; yang mewakilkan
atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Allah. Sebagaimana juga huruf-huruf
yang tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemauan yang terbit dan
terkandung dalam hati; dan bentuk itu dalam dalam otak penulis
tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja
melainkan Raja itu sendiri. Allah telah memberi kita Raja dalam bentuk
yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu
salinan kecil Diri(Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada
manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah
hatinya; Kursi itu otaknya; Lauh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau
fikirannya. Ruh itu tidak bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah
badanya; sebagaimana Allah memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya,
tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan
diperintahkan supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu.
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Allah
Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat pengetahuan. Ahli Ilmu Alam
yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan
memerhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan
sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut
yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan
pena itu, yaitu ia tahu bahwa unsur-unsur itu adalah daya
bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di bawah
kuasa Malaikat.
Oleh karena berbeda-bedanya derajat
pandangan manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan hasil atau
kesan. Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari fenomena alam nyata
ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu
sebagai raja. Undang-undang alam nyata itu (Fenomena) itu mestilah tetap.
Jika tidak, tidak adalah sains. Walau
bagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perebedaan ini, maka
pertengkaran akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta yang
hendak mengenal gajah. Seseorang memegang kaki gajah itu lalu
dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang gadingnya
lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras. Seorang lagi
memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas. Tiap-tiap seorang
mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli
ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari
ahli-ahli hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada
Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap
kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan
beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa
berkata, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
Kita selalu mendengar orang merujuk
kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang
digelar sakit. Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi
cenderung kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi dipedulikannya,
dan tidak peduli apa pun, maka doktor mengatakan, "Ini
adalah penyakit gundah gulana, dan ia perlu obat ini a"
Ahli fisika akan berkata "Ini
adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat
dilegakan kecuali udara menjadi lembab."
Ahli nujum akan mengatakan bahwa
itu adalah pengaruh bintang-bintang.
"Hanya itulah
kebijaksanaanya mereka." Kata
Al-Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah:
Allah Subahana Wataala memberi kebajikan orang yang sakit itu dan dengan
itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau
unsur-unsur, mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia
berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya.
Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah
mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham; dan
ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat
pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Doktor, Ahli Fizik dan Ahli Nujum
itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing. Tetapi mereka
tidak tahu bahwa penyakit itu bisa dikatakan sebagai "Tali
Cinta", yang dengan tali itu Allah menarik AuliaNya kepadaNya.
Berkenaan ini Allah ada berfirman yang bermaksud;
"Aku sakit tetapi
engkau tidak melawat Aku".
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk
pengalaman yang dengannya manusia itu bisa mencapai pengetahuan tentang
Allah; sebagaimana firman Allah melalui mulut Rasul-rasulNya;
"Sakit itu sendiri
adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu".
Dengan ulasan-ulasan yang
terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata
yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu;
"Maha Suci Allah"
(SubhanaLlah)
"Puji-pujian Bagi Allah (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Allah (La ilaha iLlaLlah)
"Allah Maha Besar" (Allahu Akbar).
"Puji-pujian Bagi Allah (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Allah (La ilaha iLlaLlah)
"Allah Maha Besar" (Allahu Akbar).
Berkenaan dengan "Allahu
Akbar" itu bukanlah bermaksud Allah itu lebih besar (secara fisik)
dari makhluk, karena makhluk itu adalah penampakan-Nya sebagaimana cahaya
memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan matahari itu lebih besar
daripada cahayanya. Ia bermaksud yaitu Kebesaran Allah itu tidak
dapat disukat dan diukur dan melampaui jangkauan kesedaran; dan kita
hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang kanak-kanak bertanya
kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita
hanya dapat mengatakan seperti perasaan kanak-kanak itu tatkala sedang bermain
bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan
langsung, kecuali hanya kedua-dua perkara itu termasuk dalam jenis
kesenangan. Oleh yang demikian, kata-kata "Allahu
Akbar" itu berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalan dan
pengetahuan kita. Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Allah
itu, bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai oleh ibadat dan
pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia
berhubungan dengan Allah saja. Jika kita hidup dengan orang
lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat kemesraan kita terhadap
orang itu. Cinta itu adalah benih kebahagiaan,
dan Cinta kepada Allah itu dituju dan dibangun melalui ibadat.
Ibadat dan sentiasa mengenang Allah itu memerlukan kita supaya bersikap
sederhana dan mengekang kehendak-kehendak badan. Ini bukanlah berarti
semua kehendak badan itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan
punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi
kehendak-kehendak badan itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang
paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih
baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam perkara ini, dan
hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyi Ilahi menentukan batas yang
harus diperhatikan dalam hal ini. Siapa yang
melanggar batas berarti Menzholimi dirinya sendiri"(Al-Baqarah;
231).
Walaupun Al-Qur'an telah memberi
keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang melanggar batas karena
kejahilan mereka tentang Allah dan kejahilan ini adalah karena beberapa sebab;
Pertama; ada golongan
manusia yang terus mencari Allah melalui pikiran, lalu mereka membuat
kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan
sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti orang yang
melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat
itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu saja.Orang yang seperti
ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan
mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizika
dan Ahli Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi.
Ada pula setengah orang karena
kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal
adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana.
Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan
dan akan hancur begitu saja.
Ada juga orang yang
percaya dengan Allah dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman
mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri;
"Allah itu Maha Agung dan tidak
ada sangkut-paut dengan kita, walaupin kita sembah Dia atau tidak;
tidak menjadi apa-apa kepadaNya".
Fikiran mereka ini seperti orang sakit
yang disuruh makan ubat, tetapi ia berkata; "Apa untung atau
ruginya doktor itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?".
Memang tidak terjadi apa-apa kepada doktor itu tetapi orang itulah yang akan
bertambah sakit karenabodohnya. Badan yang sakit berakhir dengan
mati. Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan
di akhirat nanti, seperti firman Allah Taala dalam Al-Qur'an yang
bermaksud;
"Hanya mereka yang
kembali kepada Allah dengan hati yang Salim itulah yang akan terselamat".
Jenis orang yang tidak
beriman yang keempat ialah mereka yang berkata;
"Hukum Syariat menyuruh kita
jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik.
Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang telahada semula jadi
pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi
putih".
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka
jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang
sama sekali perasaan itu, tetapi hendaklah dikontrol supaya tidak
melanggar batas yang dibenarkan. Supaya terhindar dari dosa
besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang
kecil. Sedangkan Rasulullah ada bersabda;
"Saya ini manusia
juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain".
Firman Allah dalam Al-Qur'an;
"Allah kasih kepada
mereka yang menahan kemarahan mereka".(Al-Imran:146)
Ini berarti bukan mereka yang tidak
ada perasaan marah.
Golongan yang kelima ialah mereka yang
menekankan Kemurahan Tuahn saja tetapi menepikan KeadilanNya, lalu mereka
berkata kepada diri mereka sendiri;
"Kami buat apa saja karena Allah
itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka tidak ingat meskipun Allah itu
Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia mati kelaparan dan
karena penyakit. Meraka tahu, barang siapa hendak hidup atau hendak
kaya, atau hendak belajar, mestilah jangan hanya berkata;
"Allah itu Kasih Sayang". tetapi perlulah ia berusaha
sungguh-sungguh. Meskipun ada firman Allah dalam Al-Qur'an; "Tiap-tiap makhluk yang hidup itu Allah beri ia
rezeki"(Surah Hud:06); tetapi hendaklah juga
ingat Allah juga berfirman; "Manusia
tidak akan mendapat apa-apa kecuali dengan berusaha".
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adalah dipengaruhi oleh
Syaitan dan mereka berkata di mulut saja, bukan di hati.
Golongan keenam pula menganggap
mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi
kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak hormat, anda akan dengar
mereka marah dan bertahun-tahun mengatai anda. Dan jika anda ambil
makanan sesuap saja yang patut, seluruh alam ini kelihatan gelap dan
sempit pada perasaan mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat menakluki
hawa nafsu mereka, mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri
mereka itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad SAW. sendiri,
manusia yang paling tinggi darajatnya, sentiasa mengaku salah dan
memohon ampun kepada Allah. Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat
takut berbuat dosa sehingga pada perkara- perkara yang halal pun mereka
menghidarkan diri .
Diriwayatkan, suatu hari Nabi
Muhammad SAW. telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan memakannya
kerena beliau tidak pasti Tamar itu didapati secara halal atau
tidak. Tetapi mereka menelan arak berbotol-botol banyaknya dan berkata
mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya menggeletar semasa menulis ini).
Pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada
halal atau tidak. Sesungguhnya mereka telah diseret dan disesatkan oleh
Iblis.
Aulia Allah yang sebenarnya mengetahui bahwa orang yang
tidak menundukkan hawa nafsunya tidak patut dipanggil "orang" dan orang Islam yang sebenarnya ialah mereka
yang dengan rela hati, tidak mahu melanggar Syariat. Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh
Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena, tetapi
adalah sewajarnya dengan pedang. Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang
berpura-pura tenggelam dalam lautan keheranan atau tidak sadar, tetapi
jika anda tanya mereka apakah yang mereka heirankan itu, mereka tidak
tahu. Sepatutnya mereka disuruh menungkan keheranan sebanyak-banyak yang
mereka suka, tetapi
di samping itu hendaklah ingat bahwa Allah Subhanahuwa Taala itu adalah
Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Allah saja.
Sumber : Imam Ghazali_al-Kimiya' as-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar