"Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujuraat: 10).
Seorang
muslimah Arab pergi ke pasar Yahudi bani Qainuqa. Ia mendatangi seorang
tukang-sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Muslimah itu bermaksud menunggu
sampai selesai, tiba-tiba beberapa orang Yahudi datang mengerumuninya. Dengan
nada mengejek, mereka meminta kepada si wanita untuk membuka purdahnya.
Permintaan itu ia tolak mentah-mentah.
Namun,
secara diam-diam, si tukang sepuh menyangkutkan ujung pakaian yang menutupi
seluruh tubuh itu pada bagian punggungnya. Ketika si wanita berdiri, terbukalah
aurat bagian belakangnya. Melihat pemandangan itu, orang-orang Yahudi bersorak
riang. Si wanita pun menjerit meminta tolong.
Kegaduhan
segera terjadi. Seorang mukmin yang kebetulan berada di lokasi segera bereaksi.
Secepat kilat ia menyerang tukang sepuh dan membunuhya. Orang-orang Yahudi
menjadi murka karenanya. Mereka balas mengeroyok si mukmin hingga terbunuh.
Insiden itu
sebagai awal pengkhianatan Yahudi Qainuqa. Sebelumnya, mereka terikat
perjanjian untuk hidup damai berdampingan dengan umat Islam. Nyatanya,
kedengkian yang memuncak membuat mereka tidak bisa mengendalikan diri.
Akibatnya, Rasulullah beserta para sahabat mengepung mereka selama beberapa
hari. Mereka kemudian menyerah dan siap menerima hukuman sesuai nota
perjanjian. Keputusunnya, mereke diusir dan tidak boleh hidup berdekatan dengan
kota Madinah. Ini terjadi pada bulan Syawal tahun kedua hijriah, seperti
diriwayatkan Ibnu Hisyam dalam Shirahnya.
Insiden ini
menjadi sebuah peristiwa bersejarah. Ia bahkan menjadi pemicu bagi perubahan
peta politik Madinah saat itu. Qainuqa mendapat keadilan dengan diusir dari
Madinah. Meski ada faktor lain sebelum insiden ini, yaitu kedengkian kaum
Yahudi atas kemenangan umat Islam di Badar. Seperti statement mereka
ketika menyambut seruan Rasulullah: "Wahai Muhammad, apa kamu mengira kami
seperti kaummu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang
tidak mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi
dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini."
(Al-Buthy, Fiqhus Shirah).
Melihat
harga diri saudaranya dilecehkan, begitu besar solidaritas seorang sahabat.
Begitu juga kecintaan sahabat terhadap Islam, tidak sudi melihat ajarannya
diolok-olok. Begitu besar keputusan yang ia ambil, yang berisiko kematian bagi
dirinya. Ia mencintai karena Allah, Ia membenci karena Allah. Dalam Islam,
membela kehormatan ('irdl) adalah sebuah kemuliaan.
"Barang
siapa terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid, dan barang siapa yang
terbunuh karena membela darahnya maka dia syahid, dan barang siapa terbunuh
karena membela agamanya maka dia syahid, dan barang siapa terbunuh membela
keluarganya maka dia syahid." (HR Tirmidzi dan Nasa'i).
Ubadah bin
Shamith, yang memiliki persekutuan dengan Qainuqa, secara tegas menyatakan
kepada Rasululullah saw., "Sesungguhnya aku memberikan loyalitas kepada
Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin, dan aku melepaskan ikatan persekutuan
dengan orang-orang kafir tersebut." (Al-Buthy, Fiqhus Shirah).
Apa yang
melatarbelakangi sikap-sikap itu? Tak lain adalah cinta. Seperti perkataan Ibnu
Qoyyim, "Pangkal perbuatan dan pergerakan di alam ini adalah cinta dan
keinginan. Cinta melahirkan pengorbanan. Cinta memunculkan rasa cemburu dan
benci terhadap lawan yang dicinta. Karena itu, kata Rasulullah, Autsaqu
'urol iimaani alhubbu fillahi wal bughdhu fillahi (Ikatan iman yang
paling kuat adalah kecintaan karena Allah dan kebencian karena Allah) (R
Abu Dawud dan Ahmad). Benci dan cinta adalah setali mata uang.
Karena
cintanya terhadap Islam, keimanan sang sahabat terusik manakala menyaksikan pelecehan
terhadap saudara muslimahnya. Ubadah bin Shamit demikian juga langsung
memutuskan hubungan perlindungan dengan mereka. Mereka ditautkan rasa
solidaritas persaudaraan, karena sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara. Sikap mereka menggambarkan seakan mereka satu bangunan yang saling
menguatkan, satu tubuh yang jika ada organ tubuh lain sakit, ia turut
merasakannya, seperti pernyataan Rasulullah saw., "Permisalan orang
mukmin dalam mereka saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menaruh
simpati adalah laksana satu tubuh, yang jika salah satu dari anggota tubuh
merasa sakit, seluruh anggota tubuh lainnya turut merasakan dampaknya dengan
panas atau tidak bisa tidur." (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah
saw. juga bersabda, "Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain laksana
sebuah bangunan yang sebagaian yang lain dengan sebagian yang lainnya saling
menguatkan." (HR Bukhari dan Muslim).
Antara lain
karena hal Itulah, mengapa dalam Asy-Syarhul Kabir dijelaskan bahwa
ketika seseorang mempunyai kelebihan makanan, sedangkan ia membiarkan orang
lain kelaparan hingga mati, maka wajib atasnya membayar diyat (penebus)
kematian dengan hartanya sendiri dan harta keluarga dekatnya. Itu jika ia tidak
sengaja membiarkannya mati kelaparan, jika ia sengaja, maka ada perbedaan
pendapat. Sebagian Ulama berpendapat ia harus membayar diyat dari hartanya
sendiri dan tidak boleh dibebankan kepada keluarga dekatnya. Sebagian yang lain
berpandangan ia harus diqishas.
Juga karena
sebab ini, disebutkan dalam Al-Bahrur Ra'iq, "Jika ada seorang
muslimah di bagian timur ditawan musuh, maka wajib bagi kaum muslimin yang
berada di bagian barat bumi untuk membebaskannya."
Cuplikan
fatwa ini menggambarkan betapa solidaritas sesama mukmin merupakan hal yang
sangat urgen dalam Islam. Muslim laksana satu bangunan yang saling menguatkan.
Muslim laksana satu tubuh dan satu jiwa. Derita mereka derita kita, kesulitan
mereka kesulitan kita. Jika seorang muslimah saja yang ditawan di belahan timur
menjadikan wajib bagi muslimin di belahan barat untuk membebaskannya, maka
bagaimana dengan ribuan muslimah yang tidak hanya ditawan, melainkan dianiaya,
diperkosa, dibunuh seperti dialami muslimah Bosnia Herzegovina? Bagaimana pula
dengan pembantaian yang menimpa muslim Afghanistan, Kasymir, Moro, Maluku,
Poso, dan Irak?
Sebagaimana
penilaian banyak pihak bahwa pemerintah Indonesia hanya basa-basi dalam
menyikapi invansi AS ke Irak, penilaian serupa tertuju pada masing-masing
pribadi, adakah dalam ukhuwah kita juga hanya berbasa-basi? Sudahkah
solidaritas kita selama ini--apapun bentuknya--merupakan perwujudan maksimal
dari apa yang kita miliki dan usahakan? Masing-masing kita yang mengetahui
jawabannya. Nastaghfirullahal adhim. Wallahu a'lam.
(Abu Zahrah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar